Perbedaan Dunia Perfilman Sebelum Era Digital Dan Saat Era Digital

Hasil gambar untuk sejarah perfilman
Tentang Perbedaan Dunia Perfilman Sebelum Era Digital Dan Saat Era Digital

Dunia Perfilman Sebelum Era Digital
Sebelum ditemukannya kamera digital, para filmmaker menggunakan kamera seluloid sebagai medium untuk memvisualisasikan skenarionya. Kamera film (begitu tipe kamera ini banyak disebut) merupakan kamera yang menggunakan bahan dasar (pita) seluloid berukuran 8mm, 16mm, 35mm, dan 70mm yang disesuaikan dengan tipe kamera itu sendiri. Kebanyakan filmmaker menggunakan kamera 35mm karena ukuran tersebut menghasilkan gambar yang pas untuk konsumsi layar lebar. Sayangnya, kamera film dibanderol mahal, harga sewanya pun sangat tinggi. Hal tersebut kerap membatasi para filmmaker dengan bujet yang minim untuk memproduksi film.


Seorang sutradara film, George Lucas, mengatakan bahwa film yang berkembang pada abad ke 19 adalah hasil perkembangan fotografi yang menggunakan pita seluloid yang befungsi untuk menangkap dan merekam gambar. Kemudian sekitar abad ke-20an teknologi digital telah menemukan pengganti pita seluloid itu untuk menampilkan cara penggarapan baru untuk dunia film (bioskop) yaitu bioskop digital(cinema digital. Pengertian dari digital cinema adalah sebuah system yang lengkap dimana meliputi seluruh rantai produksi film dari akuisisi yang berhubungan dengan kamera digital. Dalam 20 tahun terakhir ini, teknologi digital, teknik dan estetika visual memiliki pengaruh yang besar pada setiap tahap pembuatan film dan proses pendistribusiannya.

Bermulanya Era Digital

Kemunculan kamera digital di akhir tahun 1980-an yang digagas oleh Sony lewat perlengkapan kamera Sony HDVS-nya (awalnya ditujukan untuk keperluan broadcast televisi) membuat filmmaker mempunyai pilihan untuk mengambil gambar dengan biaya yang lebih murah. Meski begitu, para pembuat film lebih banyak setia dengan kamera film karena gambar yang dihasilkan jauh lebih baik. Seiring perkembangan zaman, teknologi digital semakin maju dan kini kualitas kamera digital bahkan dapat menyamai kamera film seluloid. Hal ini berimbas dengan banyaknya filmmaker dunia yang memilih untuk menggunakan kamera digital dibandingkan seluloid, tak terkecuali Hollywood.

Penggunaan kamera digital dalam industri film Hollywood dipelopori oleh George Lucas yang mengembangkan kamera Sony HDW-F900 yang digunakan pada Once Upon Time in Mexico (2001). Film garapan Robert Rodriguez tersebut dikenal sebagai film pertama yang seluruh gambarnya diambil dengan kamera digital berformat 24 fps. Satu tahun kemudian, Lucas menggunakan kamera yang sama untuk filmnya, Star Wars Episode II: Attack of the Clones. Tahun 2009 bisa dikatakan sebagai momen penting bagi perkembangan kamera digital di industri film dunia. Pada tahun tersebut, Slumdog Millionaire menjadi film pertama berformat digital yang mendapatkan penghargaan Best Cinematography di ajang bergengsi Academy Awards, disusul oleh dirilisnya Avatar yang hingga saat ini menjadi film berpendapatan tertinggi sepanjang sejarah.

Kesuksesan film-film digital tersebut berimbas para sistem sinema di dunia. Banyak bioskop yang akhirnya menggunakan proyektor digital dan meninggalkan proyektor film konvensional. Proyektor digital yang dikenal dengan nama DLP (Digital Light Processing) sanggup menayangkan film digital dengan resolusi 2K (2048×1080 atau 2,2 megapixels) dan 4K (4096×21960 atau 8.8 megapixels). Sistem pendistribusian film pun tidak lagi memakai reel seluloid, namun menggunakan file digital DCP (Digital Cinema Package) berbentuk hard-drive yang nantinya dikopi ke dalam server internal bioskop yang akan menayangkan filmnya.

Tahun 2002, major studios Hollywood membentuk suatu organisasi bernama Digital Cinema Initiative (DCI). Organisasi ini diciptakan untuk menentukan standar arsitektur untuk bioskop digital agar tercapai model yang seragam secara global, berkualitas tinggi dan tangguh. Dengan mengacu pada standar Society of Motion Picture and Television Engineers (SMPTE) maupun International Organization for Standardization (ISO) maka ditentukan standar atau format tertentu yang harus diaplikasikan untuk menyiapkan master materi film, sistem distribusinya, sampai ke urusan perlindungan isi film (content), pengacakan (encryption), dan penandaan khusus untuk menghindari pembajakan (forensic marking). Semua teknologi bioskop digital yang memenuhi persyaratan mereka disebut DCI Compliance (sesuai dengan DCI). Perbedaan dasar antara sinema analog dengan digital adalah cara pengemasannya (packaging), distribusi, dan penayangannya.

Berkembangnya teknologi digital akhirnya membuat produksi seluloid berkurang drastis. Banyak perusahaan yang akhirnya gulung tikar akibat perkembangan pesat tersebut. Salah satu yang paling terkenal adalah Kodak (meski saat ini sudah dinyatakan tidak bangkrut). Mau tidak mau, para filmmaker dan penonton harus siap menerima fakta bahwa saat ini era digital telah memegang peranan penting dalam industri film dunia.

Pengertian Film

Film adalah gambar-hidup, juga sering disebut movie. Film, secara kolektif, sering disebut sinema. Sinema itu sendiri bersumber dari kata kinematik atau gerak.
Pengertian secara harafiah film (sinema) adalah Cinemathographie yang berasal dari Cinema + tho = phytos (cahaya) + graphie = grhap (tulisan = gambar = citra), jadi pengertiannya adalah melukis gerak dengan cahaya.
Pengertian film menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu: 
  • Selaput. Selaput yang terbuat dari seluloid untuk tempat negative yang dari situ dibuat potretnya,tempat gambar positif yang akan dibuat di bioskop.
  • Gulungan serangkaian gambar-gambar yang diambil dari objek-objek yang bergerak dan akhirnya proyeksi dari hasil pengambilan gambar tersebut.
  • Cerita yang diputar di bioskop.
Film mempunyai banyak pengertian yang masing-masing artinya dapat dijabarkan secara luas. Film merupakan media komunikasi sosial yang terbentuk dari penggabungan dua indra, penglihatan dan pendengaran, yang mempunyai inti atau tema sebuah cerita yang banyak mengungapkan realita sosial yang terjadi di sekitar lingkungan tempat dimana film itu sendiri tumbuh.

Film sendiri dapat juga berarti sebuah industri, yang mengutamakan eksistensi dan ketertarikan cerita yang dapat mengajak banyak orang terlibat. Film berbeda dengan cerita buku, atau cerita sinetron. Walaupun sama-sama mengangkat nilai esensial dari sebuah cerita, film mempunyai asas sendiri. Selain asas ekonomi bila dilihat dari kacamata industri, asas yang membedakan film dengan cerita lainnya adalah asas sinematografi. Asas sinematografi tidak dapat digabungkan dengan asas-asas lainnya karena asas ini berkaitan dengan pembuatan film. Asas sinematografi berisikan bagaimana tata letak kamera sebagai alat pengambilan gambar, bagaimana tata letak properti dalam film, tata artistik, dan berbagai pengaturan pembuatan film lainnya.

Sejarah & Perkembangan Film Di Dunia

Film pertama kali dipertontonkan untuk khalayak umum dengan membayar berlangsung di Grand Cafe Boulevard de Capucines, Paris, Perancis pada 28 Desember 1895. Peristiwa ini sekaligus menandai lahirnya film dan bioskop di dunia. Meskipun usaha untuk membuat "citra bergerak" atau film ini sendiri sudah dimulai jauh sebelum tahun 1895, bahkan sejak tahun 130 masehi, namun dunia internasional mengakui bahwa peristiwa di Grand Cafe inilah yang menandai lahirnya film pertama di dunia.

Pelopornya adalah dua bersaudara Lumiere Louis (1864-1948) dan Auguste (1862-1954). Thomas A. Edison juga menyelenggarakan bioskop di New York pada 23 April 1896. Dan meskipun Max dan Emil Skladanowsky muncul lebih dulu di Berlin pada 1 November 1895, namun pertunjukan Lumiere bersaudara inilah yang diakui kalangan internasional. Kemudian film dan bioskop ini terselenggara pula di Inggris (Februari 1896), Uni Sovyet (Mei 1896), Jepang (1896-1897), Korea (1903) dan di Italia (1905).

Perubahan dalam industri perfilman, jelas nampak pada teknologi yang digunakan. Jika pada awalnya, film berupa gambar hitam putih, bisu dan sangat cepat, kemudian berkembang hingga sesuai dengan sistem penglihatan mata kita, berwarna dan dengan segala macam efek-efek yang membuat film lebih dramatis dan terlihat lebih nyata.

Film tidak hanya dapat dinikmati di bioskop dan berikutnya di televisi, namun juga dengan kehadiran VCD dan DVD (Blue-Ray), film dapat dinikmati pula di rumah dengan kualitas gambar yang baik, tata suara yang ditata rapi, yang diistilahkan dengan home theater. Dengan perkembangan internet, film juga dapat disaksikan lewat jaringan superhighway.

Menurut Jack Valenti, kekuatan unik yang dimiliki film, adalah: (1) Sebagai hasil produki sekelompok orang, yang berpengaruh terhadap hasil film; (2) Film mempunyai aliran-aliran yang menggambarkan segmentasi dari audiensnya. Seperti: drama, komedi, horor, fiksi ilmiah, action dan sebagainya.

Bagi Amerika Serikat, meski film-film yang diproduksi berlatar belakang budaya sana, namun film-film tersebut merupakan ladang ekspor yang memberikan keuntungan cukup besar. FILM yang ditemukan pada akhir abad ke-19 dan terus berkembang hingga hari ini merupakan ‘perkembangan lebih jauh’ dari teknologi fotografi. Perkembangan penting sejarah fotografi telah terjadi di tahun 1826, ketika Joseph Nicephore Niepce dari Perancis membuat campuran dengan perak untuk membuat gambar pada sebuah lempengan timah yang tebal.

Thomas Alva Edison (1847-1931) seorang ilmuwan Amerika Serikat penemu lampu listrik dan fonograf (piringan hitam). Pada tahun 1887, Edison tertarik untuk membuat alat untuk merekam dan membuat (memproduksi) gambar. Edison tidak sendirian. Ia kemudian dibantu George Eastman. Eastman pada tahun 1884 menemukan pita film (seluloid) yang terbuat dari plastik tembus pandang. Tahun 1891 Eastman dibantu Hannibal Goodwin memperkenalkan satu rol film yang dapat dimasukkan ke dalam kamera pada siang hari.

Alat yang dirancang dan dibuat oleh Thomas Alva Edison itu disebut kinetoskop (kinetoscope) yang berbentuk kotak berlubang untuk menyaksikan atau mengintip suatu pertunjukan. Lumiere Bersaudara kemudian merancang peralatan baru yang mengkombinasikan kamera, alat memproses film dan proyektor menjadi satu. Lumiere Bersaudara menyebut peralatan baru untuk kinetoskop itu dengan “sinematograf” (cinematographe).

Peralatan sinematograf ini kemudian dipatentkan pada tahun 1895. Pada peralatan sinematograf ini terdapat mekanisme gerakan yang tersendat (intermittent movement) yang menyebabkan setiap frame dari film diputar akan berhenti sesaat, dan kemudian disinari lampu proyektor. Di masa awal penemuannya, peralatan sinematograf tersebut telah digunakan untuk merekam adegan-adegan yang singkat. Misalnya, adegan kereta api yang masuk ke stasiun, adegan anak-anak bermain di pantai, di taman dan sebagainya.
Sejak ditemukan, perjalanan film terus mengalami perkembangan besar bersamaan dengan perkembangan atau kemajuan-kemajuan teknologi pendukungnya. Pada awalnya hanya dikenal film hitam putih dan tanpa suara atau dikenal dengan sebutan “film bisu”. Masa film bisu berakhir pada tahun 1920-an, setelah ditemukannya film bersuara.

Film bersuara pertama diproduksi tahun 1927 dengan judul “Jazz Singer”, dan diputar pertama kali untuk umum pada 6 Oktober 1927 di New York, Amerika Serikat. Kemudian menyusul ditemukannya film berwarna di tahun 1930-an.

Perkembangan Film Saat ini

Perubahan dalam industri perfilman, jelas nampak pada teknologi yang digunakan. Jika pada awalnya, film berupa gambar hitam putih, bisu dan sangat cepat, kemudian berkembang hingga sesuai dengan sistem pengelihatan mata kita, berwarna dan dengan segala macam efek-efek yang membuat film lebih dramatis dan terlihat lebih nyata. Film tidak hanya dapat dinikmati di televisi, bioskop, namun juga dengan kehadiran VCD dan DVD, film dapat dinikmati pula di rumah dengan kualitas gambar yang baik, tata suara yang ditata rapi, yang diistilahkan dengan home theater.

Film 2 Dimensi (2D), 3 Dimensi (3D), dan 4 Dimensi (4D)
 
Perkembangan teknologi dan komputer menyebabkan industri perfilman juga mengikuti perkembangan yang ada. Mulai dari film bisu, film hitam putih, hingga film yang kita kenal seperti sekarang ini seperti film 2 dimensi (2D) dan 3 dimensi (3D). Dilihat dari cara pembuatannya, film produksi luar negeri seperti 20th Century Fox, Columbia Pictures, Dream Works SKG, Paramount Pictures, Pixar Animation Studios, Sony Pictures Entertainment, Universal Studios, Walt Disney Picture, lebih disukai baik di dalam negeri maupun luar negeri dikarenakan beberapa faktor, yaitu ceritanya yang tidak membosankan, setting yang menarik perhatian penonton, dan yang tak kalah pentingnya adalah efek yang diberikan di setiap adegan film yang menambah film tersebut terlihat seperti kenyataan.

Film 2 dimensi (2D)
Film 2D biasanya digunakan pada film kartun. Film ini memberika kelebihan dalam penayangan yaitu memiliki suara yang jernih, gambar lebih halus, serta gambar yang telah di sensor hampir tidak terlihat. Kelemahannya yaitu kualitas hasil proyeksinya lebih kecil daripada film biasanya, dimana layar akan lebih kecil dikarenakan jika menggunakan layar lebih besar kualitasnya akan semakin berkurang. Softwae animasi 2D biasanya digunakan untuk membuat animasi tradisional dimana memiliki kemampuan dalam mengatur gerak, menggambar, sebagian bisa mengimpor suara dan mengatur waktu. Software yang digunakan yaitu Macromedia Flash,GIF Animation dan Corel Rave, Swish Max, After Effects, Moho, CreaToon, dan ToonBoo. Contoh film 2D adalah Shincan, Looney Toons, Pink Panther, Tom and Jerry, dan Scooby Doo

Film 3 dimensi (3D)
Kualitas film 3D memberikan tayangan 3 dimensi atau terlihat lebih nyata dengan menggunakan bantuan alat kacamata khusus. Jika tidak, gambar akan terlihat blur atau buram. Kacamata yang sering digunakan pada format film 3D adalah Red/Cyan dimana red (merah) di kiri dan cyan (biru) di kanan. Kelemahannya adalah film format 3D tidak disertai dengan terjemahan dikarenakan akan mengurangi kualitas film. Penggunaan kacamata dalam film 3D hanya pada bioskop, sedangkan pada televisi tidak memerlukan kacamata.

Pada penayanagan film 3D, menggunakan dua proyektor yaitu interlocking atau dengan menggunakan satu proyektor tapi memiliki dua lensa. Beberapa merk proyektor yang sering digunakan pada sinema digital adalah Barco, Sony, Kinoton, dan Christie. Berikut beberapa sistem penayangan sinema digital pada film 3D :

Pembuatan film 3D pada dasarnya bisa dibagi menjadi tiga jenis, live action, animasi, dan konversi 2D ke 3D. Pembuatan film live action membutuhkan dua tahapan: syuting dengan kamera 3D dan pasca produksi (editing, colorgrading, mastering, dan sebagainya). Pembuatan animasi 3D dianggap lebih sederhana dengan menggunakan kamera virtual di komputer dan kesalahan efek 3D lebih bisa dihindari daripada pembuatan film 3D live action.

Konversi 2D ke 3D merupakan proses alternatif. Pengambilan gambar dilakukan secara 2D namun dalam pasca produksi dilakukan keputusan bahwa film juga diedarkan secara 3D. Proses konversi 2D ke 3D merupakan proses yang sangat intensif karena dilakukan duplikasi semua frame film agar didapat gambar ganda untuk mata kanan dan kiri sehingga biaya paska produksi membengkak. Biasanya konversi dilakukan terhadap film-film lama yang dirilis ulang ke format 3D seperti Nightmare Before Christmas dan Titanic (90an).

Biasanya proses pengambilan gambar (optik atau digital) memerlukan dual camera rig. Ada dua macam rig 3D yang umum yaitu side by side dan mirror rig. Side by side rig adalah penempatan dua kamera identik secara berdampingan. Sistem ini lebih sederhana dibandingkan sistem mirror rig namun mempunyai kelemahan. Rig ini hanya ideal untuk kamera kecil. Pada kamera besar jarak kedua kamera menjadi terlalu dekat hingga bisa muncul masalah: interocular/interaxial (perspektif paralel jarak kedua lensa dari kedua kamera) tidak bisa cukup kecil untuk shot close up. Akibatnya kedalaman gambar terdistorsi memanjang.

Sebagian industri perfilman sedang merilis film 4 dimensi (4D) yaitu dimana si penonton benar-benar merasakan seakan dia sedang berada pada latar film tersebut ditambah dengan pergerakan kursi dan efek yang ditumbulkan dari ruangan tersebut yang menyebabkan penonton benar-bernar bergerak ke segala arah. Film 4 dimensi di Indonesia pernah di putar di Dunia Fantasi, Jakarta beberapa tahun yang lalu. Film tersebut menceritakan tentang seekor berunag kutub kecil yang terpisah dengan induknya akibat melelehnya es di kutub karena suhu di kutub semakin memanas. Efek ruangan yang ditimbulkan adalah semprotan air seakan-akan penonton merasakan cipratan air saat bongkahan es jatuh di hadapan mereka. Kemudian kursi digerakkan mengikuti arah bongkahan es yang bergerak seakan-akan penonton berada di bongkahan es yang mengarungi lautan luas.


Sumber :
-http://cinemags.id/perkembangan-era-digital-dalam-dunia-perfilman/
-http://ameliabelindasilviana.blogspot.co.id/2010/10/resume-digital-cinema.html
-http://puuspitaolpr.blogspot.co.id/2011/08/sejarah-dan-perkembangan-teknologi-film.html

0 Response to "Perbedaan Dunia Perfilman Sebelum Era Digital Dan Saat Era Digital"

Posting Komentar